Coldhaven Ajak Pendengarnya Lebih Dewasa Di Single “Left to Burn”
Setelah merilis ‘Sea of Memories’ dan ‘No Shore’ pada pertengahan 2022 lalu, kini unit modern metalcore asal Jogja ini merilis karya lagu perkenalan ketiga mereka. Kwartet yang membawa bendera COLDHAVEN ini merilis single terbaru bertajuk ‘Left to Burn’.
Diceritakan Argha Dichandra selaku vokalis, ‘Left to Burn’ merupakan unek-unek pribadinya tentang menyikapi banyak permasalahan dalam hidup yang juga dialami banyak orang. Dalam ‘Left to Burn’, pendengar diajak untuk menghadapi dan menyelesaikan problema mereka dengan dewasa.
“Liriknya lebih ngasih tahu seberapa sulitnya bagi orang yang nggak terbiasa terbuka dan memendam semuanya sendiri. ‘Left to Burn’ ngasih pandangan tersendiri dari orang yang ngerasa bahwa nggak semua hal atau masalah itu perlu/bisa dijelasin,” kata cowok yang akrab disapa Gaga ini mengawali.
Selain itu, ditambahkan Gaga, ‘Left to Burn’ juga ngasih pelajaran tersendiri bahwasanya closure itu kita yang bikin, bukan orang lain. “Dan ya, setelah ngelewatin jatuh, sakit, sedih, marah, dan sebagainya, pada akhirnya ‘Left to Burn’ ini jadi bagian dari proses pendewasaan,” tambahnya.
Proses pembuatan ‘Left to Burn’ ini sama seperti dua single sebelumnya. Semuanya digarap mandiri dari proses workshop, recording, sampai mixing dan mastering-nya. Workshop dan instrument recording dilakukan di Polarity Audio Indonesia.
Namun beruntungnya, kali ini COLDHAVEN diberi fasilitas rekaman gratis untuk merekam drum di studio milik Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta. Sedangkan untuk sesi vokal direkam di Rumah Tua Record.
Meski semua prosesnya dilakukan COLDHAVEN sendiri, namun single ‘Left to Burn’ ini juga berbeda secara teknis pengerjaannya. Kali ini mereka melangsungkan rekaman audio hingga pembuatan video klipnya secara LDR alias jarak jauh.
“Karena sekarang Harlend gitaris kami berada di Kalimantan dan belum akan ke Jogja dalam waktu dekat, bagan musik kami buat dulu. Kemudian kami kirim ke Harlend untuk merekam gitar di sana. Video klip juga demikian. Harlend take gambar terpisah dan sisanya dilakukan di Jogja, lalu disatukan saat editing,” papar Ian Anatha.
Video klip ‘Left to Burn’ dirilis pada Senin 13 Maret 2023 di YouTube. Sedangkan untuk format audionya juga mengudara serentak di gerai-gerai musik digital pada hari yang sama. Pendistribusian karya COLDHAVEN masih di bawah naungan Polarity Audio Indonesia (music production & record label).
Setelah rilisnya lagu “Left to Burn” ini, COLDHAVEN akan menyelesaikan penggarapan album yang diharapkan tuntas pada pertengahan tahun dan nantinya sudah bisa diperdengarkan akhir 2023. “Album pertama ini nantinya akan sangat penting bagi COLDHAVEN karena sebagai bentuk bukti eksistensi dan tanggung jawab para personel dalam berkarya. Setelah rilis kami juga berencana melakukan promo tur di beberapa kota. Tak menutup kemungkinan kami juga akan mencari peluang panggung-panggung mancanegara,” papar Ian Anatha.
Penggemar Terbanyak COLDHAVEN Berasal Sari Amerika Serikat!
Tak dipungkiri jika di Indonesia sangat banyak memiliki grup band bergenre metalcore. Namun beruntung bagi COLDHAVEN. Meski baru setahun terbentuk sebagai band metalcore, penikmat karya mereka justru banyak datang dari luar negeri, bukan dari Indonesia. Data statistik yang diambil dari dashboard milik Polarity Records tersebut menjelaskan bahwa secara keseluruhan pendengar COLDHAVEN didominasi dari United States (US) atau Amerika Serikat.
Dari YouTube, pendengar COLDHAVEN dari Amerika Serikat menembus angka 33,5%. Kedua dari Indonesia sebanyak 9.1%, dan ketiga dari Brasil dengan 4,2%. Para pendengar itu mulai datang sejak single pertama dan kedua COLDHAVEN yang dirilis pada 2022 lalu.
“Kalau dirangkum dari semua streaming service, Amerika Serikat tetap menjadi teritori terbanyak jumlah audience COLDHAVEN. Angkanya menembus 56,23%. Indonesia hanya 3,32%, kalah dengan Australia dan Kanada yang sama-sama 4,18%,” papar Ian Anatha.
Ditanya soal penyebabnya, menurut COLDHAVEN, konsep mereka sejak awal memang sudah mengacu pada grup-grup band Amerika Serikat. COLDHAVEN serius dalam meramu konsep musik, lirik, genre, dan sound design lagu-lagu mereka. Usaha tersebut ternyata ‘terbaca’ oleh algoritma YouTube, lalu pada akhirnya merekomendasikan lagu-lagu COLDHAVEN pada pendengar-pendengar di Amerika Serikat.
“Kalau dari kami sih, faktornya mungkin adalah ‘all out’. Kami nggak pernah mikir lagunya akan laris, lagunya akan terkenal. Tapi kami berusaha ‘all out’ dan ikhlas dalam menciptakan karya. Ketika kamu mereferensikan band-mu untuk ke arah musik Amerika, ya udah, all out aja. Kemas dari segi penulisan lirik, genre, sound design, ya all out ngikutin apa yang pasar Amerika mau,” kata Gaga.
“Dan yang paling penting, zaman sekarang semua seniman, khususnya kalau kamu seniman musik, ya harus jeli soal pendistribusian karya. Sekarang era digital, pelajari bagaimana cara menjual karyamu, karena apa-apa harus serba cepat, adaptif, dan gesit membaca apa yang sedang diinginkan oleh pasar,” imbuh Ian Anatha menutup obrolan.